Tuesday, February 13, 2007

Bencana Penanganan Bencana

Kerugian UMKM akibat banjir Jakarta awal Februari 2007 kemarin diestimasi mencapai 3.1 Trilun Rupiah, demikian menurut kompas. Itu baru UMKM. Tadi malam saya menonton berita dan menurut seorang pejabat bappenas kerugian total diestimasi 8.4 Triliun. Wow! Jumlah yang fantastis untuk bencana yang terjadi sekitar seminggu lamanya.
Begitu banyak analisa, kritikan, dan makian yang dilontarkan setelah terjadi bencana banjir tersebut. Rata-rata ditujukan pada pemerintah (pemda dki, jabar, juga pusat). Berbagai solusi disajikan, berbagai bantahan dilontarkan. Tapi percuma kalo tidak ditindaklanjuti.

Pada sebuah talkshow di televisi, Sutiyoso yang menjadi narasumber merespon pertanyaan mengenai tidak terkontrolnya pembangunan yang terjadi di Jakarta. Beliau berdalih bahwa pembangunan tidak bisa dielakkan, dan upaya untuk menyisakan ruang terbuka dan serapan air telah dilakukan dalam setiap perijinan yang diterbitkan oleh Pemda DKI.
Menurut saya itu bukan sekedar dalih. Yang dikatakan oleh Sutiyoso ada benarnya. Intinya sih seperti peribahasa buah simalakama. Jika pembangunan di-stop mungkin dampaknya pada penurunan pertumbuhan ekonomi, peningkatan pengangguran, dan ujung-ujungnya sih kemiskinan. Tapi jika pembangunan terus dilakukan (walaupun sudah memakai kaidah konservasi) maka bencana akan datang, dan ujung-ujungnya ya kesengsaraan.
Indonesia jelas-jelas negara bencana. Maksud saya negara yang memiliki potensi bencana yang tinggi. Mari kita lihat statistik yang di-release Walhi :

Bahkan, sejak tahun 1988 sampai pertengahan 2003 jumlah bencana di
Indonesia mencapai 647 bencana alam meliputi banjir, longsor, gempa bumi,
dan angin topan, dengan jumlah korban jiwa sebanyak 2022 dan jumlah
kerugian mencapai ratusan milyar. Jumlah tersebut belum termasuk bencana yang
terjadi pertengahan tahun 2003 sampai pertengahan 2004 yang mencapai ratusan
bencana dan mengakibatkan hampir 1000 korban jiwa.
Itu berarti setidaknya 43 bencana terjadi setiap tahunnya di negeri kita tercinta ini. Detailnya bisa anda lihat sendiri di sini.
Yang lucunya (tidak bermaksud menertawakan penderitaan yang terjadi pada korban), setiap bencana terjadi pasti ada komentar tipikal mengenai penanganan bencana. Lamban katanya. Yang pasti sih sangat terlihat tidak adanya koordinasi pada semua tindakan yang dilakukan berbagai pihak yang terlibat penanganan bencana (bukan bermaksud mengecilkan arti pengorbanan para relawan maupun semua pihak yang mau membantu). Sebenarnya kalo dilihat setiap bencana terjadi sangat banyak relawan maupun donatur yang siap membantu. Ini artinya potensi kita besar dalam hal penanganan bencana.
Berhubungan dengan buah simalakama tadi, saya percaya bahwa sebuah solusi haruslah menyeluruh dan tidak menyebabkan dampak atau efek samping lanjutan yang juga merugikan. Tidak benar bahwa sebuah solusi selalu menyebabkan ada pihak yang (di)kalah(kan).

Kesimpulan

Oke, lihat lagi informasi-informasi di atas.
  1. Bencana banyak terjadi di Indonesia
  2. Kerugian dari setiap bencana mencapai nominal yang sangat besar. Belum lagi korban jiwa yang tidak bisa dinominalkan saking berharganya.
  3. Kita memiliki potensi yang besar dalam hal resource penanganan bencana.
  4. Tidak koordinatifnya penanganan pasca bencana. Apalagi preventifnya !

Dari banyaknya bencana yang terjadi dan jumlah kerugian yang ditimbulkan saja sudah cukup menjadi alasan bahwa kita membutuhkan sebuah badan khusus yang menangani hal ini. Menurut saya sih badan ini harus punya wewenang yang cukup besar untuk menggerakkan segala resource yang ada untuk menekan potensi kerugian dan korban akibat bencana. Jadi menurut saya badan khusus ini pantasnya berada langsung di bawah Presiden. Setingkat mentri lah. Saya sebut saja misalnya... Kementrian Bencana. Tugasnya dan kewenangannya spesifik, yaitu :

  1. Memetakan potensi bencana (alam maupun yang diakibatkan ulah manusia) di Indonesia.
  2. Membuat berbagai skenario bencana yang mungkin terjadi (berdasarkan point 1), menentukan setiap langkah pencegahan, penanganan, evakuasi dan operasi penyelamatan yang dibutuhkan dari skenario-skenario tersebut.
  3. Membuat kebijakan dan upaya untuk mencegah atau meminimalisasi kerugian yang terjadi (berdasarkan skenario-skenario di point 2).
  4. Membuat perundang-undangan (bersama presiden/dpr ya?) mengenai standarisasi mengenai aspek-aspek yang bisa menyebabkan bertambahnya korban pada kejadian bencana (spesifikasi bangunan atau infrastruktur di daerah yang rawan bencana, asuransi, persyaratan pembangunan, safety standard, dll)
  5. Saat bencana terjadi, Kementrian ini otomatis menjadi lembaga tertinggi di daerah tersebut (untuk hal penanganan bencana). Kalau saat ini sebuah daerah bisa diberi status darurat militer atau sipil, maka nantinya ada daerah dengan status Darurat Bencana.
  6. Dalam menangani bencana semua pihak yang memiliki resource apapun yang dibutuhkan Kementrian Bencana wajib memberikan resource tersebut (apabila diminta).
  7. Dll (teknisnya sih banyak dan masih bisa dikembangkan, cuma kan nanti tulisannya bisa panjang banget :P)

Yang pasti dengan kewajiban dan kewenangan begitu besar dan rumit, wajar jika pejabat-pejabat di Kementrian tersebut berasal dari jalur profesional dan bukan dari jalur politis. Berikan beasiswa untuk mahasiswa-mahasiswa yang berkutat dalam bidang bencana maupun orang-orang yang mau mengambil sertifikasi-sertifikasi bidang bencana maupun keselamatan. Saya yakin, dana untuk menggerakkan Kementrian ini akan lebih kecil dari kerugian akibat bencana maupun upaya revitalisasi akibat bencana. Pembangunan secara jangka panjang pun akan terarah serta selalu mempertimbangkan unsur keselamatan manusia. Dan dengan riset yang selalu dilakukan siapa tahu justru suatu hari nanti manusia bisa "mengeksploitasi" bencana, membuat Pembangkit Listrik Tenaga Gempa misalnya hehehe. Pastinya pejabat-pejabat di kementrian ini ngga boleh korup lah ya. Wajib jujur ! Logo ? Hmm... mungkin bisa dikonsultasi sama Kementrian Desain Republik Indonesia....


Read More......